Rintihan Para Pengungsi Irian Barat di Papua New Guinea

Standar
13207666041888394476

dalam sebuah kunjungan ke perkampungan pengungsi Irian Barat

Kampung Joot sudah terlelap. Padahal jam baru menunjuk angka 9. Dari pembaringan aku mencoba menangkap suara alam di luar. Yang terdengar hanya lolongan anjing dan bunyi-bunyian binatang malam. Terusik oleh suara itu, aku mencoba keluar. Aku menikmati udara dan gelapnya malam itu. Iseng-iseng aku coba aktifkan HP. Eh, rupanya ada signal juga. Aku mendapat SMS dari Romo Werang, CM. Dia menulis bahwa Magnus tidak bisa datang ke Down Fly. Bapak Uskup dan para romo di Kiunga khawatir akan keselamatannya untuk meliput karya pelayanan gereja di kampung-kampung pengungsi dari Papua Barat. Alasannya jelas. Magnus dari Indonesia dan membawa video kamera. Dia akan dianggap para pengungsi sebagai wartawan dan mata-mata Indonesia. Via SMS aku yakinkan Rm. Werang bahwa tidak perlu cemas. Saya sudah berbicara dengan para pemimpin umat di kampung-kampung pengungsi. Magnus akan datang sebagai utusan para imam Kongregasi Misi untuk menapak jejak misioner Pastor Jacques Gros, CM. Mereka malah sangat senang dan dengan bangga bercerita tentang karya besar Pastor Jacques Gros ketika bersama mereka. Akhirnya, Rm. Werang kembali menjelaskan alasan itu dan dia setuju untuk pergi mengantar Magnus ke Down Fly River untuk meliput kehidupan para pengungsi Papua Barat di sana.

Aku bisa mengerti akan kecemasan dan kekhawatiran Bapak Uskup dan para imam di kota. Beberapa pengalaman sebelumnya membuktikan itu semua. Beberapa pengungsi dari West Papua masih trauma. Mereka sangat sensitif bila mendengar kata Indonesia, Jawa, dan Tentara. Beberapa pastor sebelumnya juga sempat mengalami serangan dan ancaman karena berasal dari Indonesia dan orang Jawa. Tapi saat ini situasi sudah mulai membaik. Saya tidak takut untuk datang mengunjungi dan melayani mereka. Setiap kali perkenalan, saya menyebut diri berasal dari Kalimantan Barat. Begitu pula dengan Magnus. Dia dari Flores. Dengan begitu, kami tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali, meski dia membawa video kamera. Akhirnya, Magnus mendapatkan banyak gambar yang bagus dari petualangannya ke kampung-kampung pengungsi di wilayah Paroki Katedral St. Gerard Kiunga.


13207669732136100603

Anak Para Pengungsi: Kami Rindu Pulang Ke Tanah Leluhur

Hampir separuh umat dari Paroki Katedral St. Gerard Kiunga adalah pengungsi. Mereka tersebar di 8 kampung dan satu lingkungan di kota Kiunga. Di paroki ini ada 15 kampung yang harus kami layani. Hanya 7 kampung yang murni warga lokal PNG. Di 2 kampung, yakni di Katawim dan Dome, jumlah pengungsi itu masing-masing mencapai 2 ribu. Para pengungsi itu telah berada di wilayah negara Papua New Guinea lebih dari 25 tahun. Itu terhitung sejak Tentara Nasional Indonesia melancarkan serangan dalam Operasi Militer untuk melumpuhkan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) pertengahan tahun 1980-an. Sejak saat itu, gelombang pengungsi terus membanjiri wilayah-wilayah Western Province. Meskipun sampai sekarang sudah banyak yang kembali, tapi tetap saja masih banyak yang trauma. Saat ini masih ada lebih dari 9000 pengungsi yang tinggal bersama warga asli PNG. Mereka tersebar di 17 lokasi atau kampung atau kamp penampungan pengungsi di sekitar border atau perbatasan Papua New Guinea dan Irian Barat.


13207671801137251679

Kami Tidak Ngerti Politik

Bagaimana keadaan mereka? Sebuah pertanyaan yang memilukan bila dijawab dengan jujur dan apa adanya. Mereka tidak punya tanah. Mereka tidak punya hak berusaha dengan leluasa. Mereka tidak punya warga negara. Mereka menjadi pengembara yang menetap. Ya, sepertinya mereka menetap di suatu tempat, tapi itu bukan tanah mereka. Mereka diizinkan untuk tinggal dengan syarat-syarat yang diatur oleh tuan dusun yang punya tanah. Mereka tidak boleh mengambil hasil hutan, sagu dan aneka jenis sayuran di luar batas yang sudah ditentukan. Mereka tidak boleh menjadi pengusaha dan pejabat. Mereka tidak boleh membangun rumah lebih bagus dari warga lokal. Mereka bisa menjadi guru, tapi tidak mendapat gaji dari pemerintah PNG. Mereka tinggal di pinggiran sungai Fly yang selalu banjir berkali-kali dalam setahun. Mereka hanya bertahan di tanah rendah di pinggir Fly River. Setiap kali banjir akibat penambangan emas OK Tedi, mereka kehilangan segalanya. Rumah-rumah rusak. Ternak hanyut. Kebun hancur. Kolam dan sumur kotor. Bahkan sagu di rawa-rawa jadi layu dan mati begitu saja. Pasca banjir mereka selalu mulai lagi dari nol.

Dalam sebuah wawancara dengan Surat Kabar Currier Post, Bapak Uskup Gilles Cote, SMM pernah meminta kepada pemerintah Papua Nugini supaya: Pertama, pengungsi yang lahir dan telah tinggal di PNG sekian lama dan tidak punya niat untuk kembali ke Indonesia, hendaknya segera diberi hak warga negara. Kedua, hak-hak mereka sebagai manusia yang menjadi korban kerusakkan lingkungan juga harus diperhatikan oleh pemilik tambang emas Ok Tedi. Mereka selama ini sangat menderita, sebab tidak pernah mendapatkan kompensasi sedikit pun dari perusahaan seperti halnya warga lokal PNG. Ketiga, beliau menyerukan kepada kedua negara (Indonesia dan Papua New Guinea) untuk secara serius mengurus warga negaranya. Berikan mereka jaminan keselamatan dan kesejahteraan. Sebuah seruan kenabian yang sepertinya masih belum mau didengarkan oleh para pejabat kedua negara. Mereka terlalu asyik dengan dunia dan tahta empuknya.

Seorang mantan tokoh OPM pernah datang ke pastoran. Dia bercerita begini: “Pastor, kami tahu Indonesia sudah berubah. Soeharto sudah tidak ada lagi. Pak Bambang saya kenal juga, karena sebagai sesama prajurit, kami dulu pernah bertemu. Tapi untuk pulang ke West Papua, kami tidak memilik jaminan apa-apa. Tetangga-tetangga kami menuduh kami pengkhianat negara. Kami tidak punya lagi tanah dan harta di sana. Pemerintah juga menganggap kami sebagai musuh negara. Kalau kami kembali berarti mati. Lebih baik kami hidup sebagai pengungsi daripada mati di tangan saudara sendiri. Cukuplah bagi kami berlindung di bawah atap Gereja, dari pada memikirkan politik yang semakin tak jelas arahnya. Kami sudah tua. Generasi berikutnya belum tentu sekata dengan kami. Jadi, hanya kepada Gerejalah kami bisa percaya dan merasa aman.” Sungguh sebuah ungkapan hati yang mengharukan. Ketika segala usaha tak kunjung ada hasilnya, hanya imanlah yang bisa menguatkan. Ketika dunia tak memberikan ketenangan dan jaminan, hanya Allahlah yang menjadi sumber pengharapan.


1320767444882409722

Sang sahabat bersama umat pengungsi Papua Barat

*Catatan seorang sahabat yang bertugas di Perbatasan Papua New Guinea dan Irian Barat: dikisahkannya melalui email dan diposting di Kompasiana atas persetujuan darinya.

2 pemikiran pada “Rintihan Para Pengungsi Irian Barat di Papua New Guinea

Tinggalkan komentar