Renungan Natal 2011: Kembalilah ke Semangat Pengosongan Diri Putera Allah

Galeri

13244947921997829077

Kandang Natal (dok. pribadi)

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7).

Itulah sepenggal himbauan Santo Paulus kepada umat di Filipi untuk MENELADANI cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak dari Kristus Yesus di dalam keseharian hidup mereka. Cara berpikir, merasa, dan bertindak apa dari Kristus Yesus yang harus diteladani oleh para murid-Nya? “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Itulah yang harus diteladani oleh semua yang mengakui-Nya sebagai Sang Guru.

Misteri Pengosongan Diri Allah Harus Menjadi Semangat Perayaan Natal

Natal bukan sekedar menyiapkan kue, mendandani rumah dengan hiasan-hiasan, serta pernak-pernik super  wah menghiasi dinding-dinding rumah dan gereja, atau membeli pohon Natal lengkap dengan asesoris gemerlapan berharga jutaan rupiah, melainkan soal meneladani cara hidup yang ditempuh oleh Allah sendiri dalam diri Yesus. Ia yang Mahakuasa, Mahabesar dan tidak terjangkau oleh akal apalagi tangan manusiawi rela memasuki kefanaan manusia, menjadi manusia, merasakan nasib manusia, bahkan mengalami titik zero yang tidak biasanya dialami manusia yakni mengambil rupa seorang hamba.

Sebagai seorang hamba, Ia tidak lahir dalam sebuah kerajaan meskipun leluhurnya adalah seorang raja. Ia tidak memilih “ber-ayah-kan” seorang raja, tetapi berayahkan Yusuf seorang tukang kayu serabutan. Ia tidak memilih ber-ibu-kan seorang ratu, tetapi seorang wanita sederhana dan buta huruf, Maria. Yusuf dan Maria bukan orang-orang hebat pada zamannya, ketika dipinang Allah untuk menjelamakan diri-Nya ke dalam dunia. Mereka hanyalah orang-orang sederhana dari kaum anawim, kaum miskin yang penuh iman akan janji Allah.

Ketika harus keluar dari kandungan ibu-Nya, Ia tidak memilih untuk dilahirkan di ranjang empuk kerajaan, melainkan di sebuah palungan, tempat makanan bagi ternak. Ia tidak memilih dilahirkan dalam sebuah kamar seorang pangeran, melainkan dalam sebuah kandang sederhana di Betlehem.

Ia tidak memilih kota-kota metropolitan pada zaman itu yang menjadi pusat-pusat perdagangan antarbangsa dan pusat-pusat peradaban sebagai Kota kelahiran-Nya. Ia justru memilih kota Nazareth sebagai tempat di mana Ia akan dikenal sebagai orang Nazaret. Sebuah desa kecil dan udik, sehingga banyak orang kemudian meragukan keberadaan-Nya dan bertanya: “adakah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”

Ketika tampil di muka umum dan berkarya, Ia selalu mempunyai opsi fundamental kepada orang-orang kecil, miskin, sederhana, terbuang, pendosa, pelacur, dan kumpulan manusia-manusia terbuang dan dipinggirkan serta disampahkan oleh masyarakat di sekitarnya. Ia memilih utuk makan bersama dengan orang-orang yang dianggap pendosa, sampah masyarakat, yang dikucilkan dari pergaulan antarsesama dan memilih untuk bergaul akrab dengan mereka. Karena Ia datang untuk menyelamatkan yang hilang dan terbuang. Opsinya jelas dari awal dan Ia konsisten dengan pilihan-Nya itu hingga akhir.

Puncaknya sebagai seorang hamba, Ia akhirnya memilih mati di atas Salib, sebuah palang hina tempat di mana tidak ada seorang pun manusia yang waras mau melakukannya. Tetapi Ia memilih mati dengan cara itu. Salib adalah hukuman yang pas bagi penjahat kelas kakap pada zaman itu. Ia memilih untuk mati seolah-olah sebagai seorang penjahat kelas kakap. Padahal hidup-Nya tidak pernah menunjukkan setitik iota pun bercela.

Dengan demikian, peristiwa Natal dan Paskah, Betlehem dan Kalvari, inkarnasi dan salib, tidak dapat dipisahkan karena bagian dari satu kesatuan konsistensi pilihan-Nya untuk menjadi solider atau serupa dengan manusia yang paling direndahkan di kalangan manusia.

Inilah cara berpikir-Nya, cara merasa-Nya, dan cara bertindak-Nya yang menjadi undangan terbuka kepada yang mengikuti-Nya untuk meneladani-Nya.

Natal:Undangan untuk Membangun Semangat Ugahari agar Solider dengan Sesama

Oleh karena itu, salah kaprah apabila Natal dipolitisir untuk aneka kepentingan terutama untuk menyombongkan diri di hadapan sesama yang berkekurangan, tidak mempunyai makanan, bahkan tidak mempunyai pakaian layak untuk sekedar menikmati lantunan “silent night” pada saat malam Natal bersama umat yang lain.

Salah alamat bila Natal dijadikan ajang pamer kemewahan dan kemeriahan antargereja dengan menghabiskan dana jutaan rupiah sementara banyak sesama anak bangsa meregang nyawah kedinginan dan kelaparan di sudut-sudut kota dan kolong jembatan.

Salah sambung apabila Natal dikaitkan dengan dukungan terhadap mentalitas kosumeristis, hedonistis, dan kawan-kawannya. Semangat Natal harus mampu memerangi semua mentalitas itu.

Natal adalah menghayati semangat ugahari yang diteladankan-Nya untuk menjadi solider dengan mereka yang kalah dalam percaturan hidup ini.

“Selamat Menyambut Natal 2011 dalam Semangat Ugahari untuk Solider dengan Sesama”

Salam dan Doa