Bagi Pria Hidung Belang: Wanita Bukan Sekedar WAdah NItip SenjaTA

Standar


Wanita itu lukisan terindah yang ditempatkan Allah di antara karya-karya terbaik-Nya. Ibarat seorang seniman agung, sang Pelukis menciptakan wanita dalam citarasa keindahan yang luar biasa dan tak terpahami sepenuhnya. Keindahan itu bukan saja menyangkut sesuatu yang berbeda dari yang lain, juga bukan tentang sesuatu yang diciptakan untuk tujuan tertentu. Tetapi keindahan adalah gabungan kasih dan kelemahlembutan yang mampu mengungkapkan bahasa kasih Allah.

Bagi seorang pemusik, wanita memberi inspirasi untuk menarikan jemari dengan bebas dalam kasih dan kelemahlembutan untuk mencapai sesuatu yang tak kalah indahya yaitu nada-nada harmoni. Dan setelah harmoni itu tercipta, biarlah setiap kaum wanita memainkannya dengan cinta sehingga hitam dan putih tidak lagi menjadi dua hal yang bertentangan melainkan saling mengisi dan melengkapi.

Atas nama keindahan, wanita juga adalah ruang kosong yang harus diisi. Tak satupun barang berharga meski dalam jumlah banyak yang dapat mengisi kekosongan itu selain satu cahaya lilin yang mampu menerangi seluruh isi ruangan. Demikanpun keindahan dan kekuatan seorang wanita akan semakin tampak ketika kerendahan hati menuntun kita untuk menyelaminya lebih dalam dan menghargainya dengan cinta.

Keagungan dan keanggunan wanita bukanlah perisai untuk melindungi segala kelemahan manusia melainkan pelita yang membuat setiap menusia di sampingnya tunduk penuh hormat di hadapan keindahan itu.

Manusia Dihargai Bukan Karena Jenis Kelamin

Standar

Saatnya akan datang, dan nyatanya sudah datang kaum wanita akan diakui kepenuhannya; saat di mana kaum wanita di dalam dunia ini memperoleh pengaruh, hasil dan kuasa yang tidak pernah dicapainya hingga saat ini. Itulah sebabnya pada saat ini di mana bangsa manusia tengah mengalami transformasi yang begitu mendalam, kaum wanita, penuh dengan semangat juang, dapat berbuat banyak untuk menolong manusia agar tidak jatuh” (Gaudium et Spes1).

Kitab Kejadian menjadi dasar dari seluruh antropologi Kristiani, “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”. Kutipan ini penting karena mengandung kebenaran-antropologis yang mendasar yakni: baik pria dan wanita merupakan makhluk kebenaran yang sama derajatnya, keduanya diciptakan menurut gambar Allah. Gambaran keserupaan dengan Allah diteruskan oleh pria dan wanita sebagai pasangan dan orang tua bagi turunan mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah dia.” Maka, di sini terletak nilai penting perkawinan yang ditetapkan oleh Allah sendiri sebagai syarat yang tidak dapat ditawar demi meneruskan kehidupan kepada generasi berikut.Selain itu, sebagaimana Allah mewahyukan diri-Nya dalam persekutuan Trinitas, maka manusia diciptakan bukan hanya sebagai pribadi. Tetapi mereka dipanggil ke dalam suatu persekutuan cinta antara dua pribadi dalam kemanusiaan yang sama, untuk menampakkan persekutuan cinta di dalam Allah yang adalah cinta itu sendiri. Dengan demikian, pria dan wanita dipanggil bukan hanya “satu di samping yang lain,” atau berada “bersama”, tetapi mereka juga dipanggil untuk berada “satu bagi yang lain secara timbal-balik. Inilah hakikat dari kelelakian dan kewanitaan. Mereka “hadir bagi yang lain” dalam “pemberian diri yang tulus” karena cinta dengan menjadi penolong satu sama lain. Dasarnya, manusia, yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, tidak dapat menemukan diri (berjuang untuk merealisasi diri) sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya kepada yang lain. (MD 7).

Akan tetapi Kejadian 3:16 justru sering membawa tafsiran yang keliru untuk melegitimasi dominasi pria atas wanita. Akibat kejatuhan ke dalam dosa, Adam dan Hawa dihukum, “Engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Di sini, hasrat sang wanita sebenarnya lebih mengacu pada hasrat yang lahir dalam atmosfir cinta suami-istri yang olehnya “penyerahan diri yang tulus” seorang wanita dijawab dan dipadani oleh sebuah “pemberian” yang sesuai dari pihak suami. Karena itu, wanita tidak dapat menjadi “objek” “dominasi” dan “penguasaan” pria atau pun sebaliknya. Dalam konteks ini, boleh-boleh saja wanita memperjuangkan kesetaraan gender, tetapi jangan sampai “mempriakan” (maskulinisasi) wanita, yang menegasikan kewanitaan mereka dan menegasi perannya untuk menjadi seorang ibu dalam sebuah persekutuan cinta suami dan istri.

Keibuan adalah buah dari kesatuan perkawinan antara seorang pria dan wanita untuk menjadi satu daging. Maka, dari wanita maupun pria dibutuhkan “penyerahan diri” yang khusus sebagai ungkapan cinta suami-istri untuk menjadi satu daging. Maka, bukan dominasi pria atas wanita atau usaha menutup diri dan hasrat manusiawi dari pihak wanita semata, melainkan peyerahan diri timbal-balik dalam cinta yang tulus antara pria dan wanita untuk menjadi satu daging. Hal inilah yang memungkinkan juga karunia kerelaan batin untuk menerima dan melahirkan anak ke dunia berkaitan dengan kesatuan dalam perkawinan.

Dengan cara ini, suami-istri berpartisipasi aktif di dalam kuasa penciptaan Allah. Karena itu, peran keibuan jangan dilihat terlalu materialistik (bio-fisiologis) dan pasif, tetapi mengandung makna teologis dan etis-personal. Maka, kata-kata Maria pada peristiwa Kabar Gembira, “terjadilah padaku menurut perkataanMu” menunjukkan kesiapsediaan seorang wanita untuk menyerahkan diri dan kerelaannya untuk menerima sebuah hidup yang baru. Walaupun pria dan wanita bersama-sama adalah orang tua dari anak mereka, keibuan wanita merupakan “bagian” yang istimewa dalam tugas bersama sebagai orang tua. Keibuan juga erat terkait dengan Perjanjian antara Allah dan Sang wanita bahwa memang wanita akan menderita pada saat melahirkan, namun tidak sebanding dengan suka cita kebangkitan dan kehidupan baru (DM 18-19). Melahirkan, menjadi ibu, dan mentransformasi dunia dengan nilai keibuan dari seorang wanita menjadi sumber pengharapan tiada henti bagi bumi yang tampaknya kian menua.

Di sini, wanita dihargai bukan pertama-tama dia adalah wanita, melainkan sebagai seorang manusia yang memang setara dengan pria. Pria dan wanita sama-sama dihargai karena keduanya manusia.