MARI BELAJAR UNTUK “ADA BERSAMA” YANG LAIN

Standar

SESAMA ADALAH WAJAH ALLAH:HARGAILAH DIA!!!

SESAMA ADALAH WAJAH ALLAH:HARGAILAH DIA!!!

Kebersamaan: Sumber Nilai Moral

Wajah negeri kita – Indonesia – saat ini tampil tak gagah lagi. Dahulu kita bernyali dalam mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang ramah terhadap siapa saja, bahkan orang asing sekalipun. Tanggap terhadap kondisi buruk tetangga, suka damai, cinta akan persatuan, menjunjung tinggi kebersamaan, dan sederetan litani kebajikan lainnya. Adakah kenangan indah ini tetap menjadi kenyataan dalam negeri kita dewasa ini? Rupa-rupanya tidak! Wajah tampan yang dulu ada yang dikonstruksi dari “mulut emas keramahan”, tatapan mata tajam penuh kepedulian dan ketergugahan terhadap nasib sesama, kini semakin tak tampak. Setiap orang sibuk dengan pencarian keuntungan pribadinya. Bersikap acuh terhadap sesama yang lain sudah menjadi hal lumrah. Mentalitas individualistis dan egoistis merasuki sebagian penduduk negeri ini. Akibatnya, kejadian tragis dan memilukan di sudut-sudut negeri ini sering menghiasi berita utama pada media massa. Di Kota Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu geger karena ada ibu rumah tangga dan beberapa anaknya bunuh diri – meneguk racun yang mematikan. Di Makasar, Sulawesi Selatan seorang ibu hamil terpaksa meregang nyawa karena kekurangan makanan (tak cukup gizi untuk kesehatan). Selain itu, banyak anak di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur yang meninggal dunia karena gizi buruk, dan sederetan kejadian tragis lainnya.
Dimanakah kita yang lain – sebagai sesama mereka –, sehingga peristiwa yang memilukan dan memalukan itu sampai terjadi? Sungguh, kebersamaan atau “ada-bersama” dengan orang lain saat ini hanya dimaknai sebatas “tinggal berdampingan secara fisik”. Tak ada kontak yang intensif dan keterarahan diri yang memadai dalam komunikasi partisipatif dengan orang lain.

Keterarahan kepada orang lain
Kebersamaan – “ada-bersama” – dengan orang lain merupakan sebuah keniscayaan bagi manusia. Tak seorangpun berani menyangkal kenyataan bahwa dari “sana”-nya manusia sudah terlahir sekaligus hidup dalam suatu Mitwelt (lingkungan kebersamaan). Kebersamaan di sini bermakna lebih luas dari sekadar kehadiran fisik pada lokasi tertentu. “Ada bersama” atau kebersamaan merupakan sebuah kehadiran diri yang difondasikan pada sebuah relasi atau komunikasi komuniter, sehingga muatan diri setiap pribadi tersingkap bagi sesamanya. Manusia ada bersama yang lain dalam lingkup sosial. Bukankah para bijak bestari telah merumuskan manusia sebagai animal sociale? Inilah fakta mutlak yang menimpa setiap insan yang bernama manusia.
Keberadaan setiap pribadi selalu mengandaikan kehadiran orang lain. Keterjalinan dirinya dengan sesama merupakan sebuah kenyataan asali. Sesama mendapat tempat sentral dalam pergerakan diri setiap pribadi. Setiap orang mustahil mengenal dan mengerti siapa dirinya tanpa keterarahannya kepada orang lain. Begitupun dia tak mungkin masih bertahan hidup dan memaknai kehadiran dirinya di dunia kalau sedari awal memangkas ketergantungan dirinya terhadap sesama. Keterarahannya kepada orang lain menuntut dia juga untuk menjadi saudara bagi sesamanya – bertanggung jawab atas kebaikan hidup sesama yang ada bersamanya. Di sinilah letak tanggung jawab etis seseorang. Nilai etis dalam kehidupan manusia terletak dalam humanisme terhadap sesama yang lain dan bukannya egoisme. “Ada-bersama” dengan orang lain menentukan nilai etis tindakan seseorang. Kehadiran orang lain di hadapan kita memproduksi nilai-nilai moral. Bagaimana jalan pemikiran ini mesti dimengerti?

Dimensi Etis Penampakan Wajah
Kebersamaan dengan sesama atau kehadiran orang lain yang memproduksi nilai etis – baik buruknya tindakan manusia secara moral – digagas dengan begitu jelas oleh Emmanuel Levinas. Filsuf Prancis kelahiran Yahudi ini merupakan seorang fenomenolog. Fenomenologi yang dibopongnya adalah fenomenologi wajah. Wajah merupakan representasi kehadiran orang lain secara sangat jelas dan konkrit. Wajah itu telanjang. Ketelanjangan wajah memberi ekses etis bahwa “engkau tidak boleh membunuh aku.” Di sini arti ketelanjangan wajah muncul sebagai pribadi yang tidak melindungi dirinya, dan tidak berlagak sedikitpun. Konsekuensi etisnya bahwa kita wajib bertanggung jawab terhadap orang lain tersebut. Franz Magnis Suseno dalam Etika Abad Kedua Puluh mengatakan: “Manusia dalam segala penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis, oleh tanggung jawab terhadap sesama. Tanggung jawab yang bisa disebut primordial itu membebani kita setiap kali kita berhadapan dengan orang lain.” Penampakan wajah talajang dan larangan untuk tidak membunuhnya mengimplikasikan suatu permintaan untuk bertanggung jawab terhadapnya. Jadi, kehadiran seseorang atau kebersamaan kita dengannya memproduksi nilai etis yaitu tanggung jawab.

Tanggung Jawab Etis
Orang lain atau wajah telanjang itu merupakan fakta terberi. Dalam konteks prolematika kehidupan sosial kita di Indonesia kehadiran “orang lain” (wajah talanjang) tampak dalam diri anak-anak busung lapar, ibu-ibu hamil yang tak cukup gizi bagi kesehatannya, orang-orang yang terbeban karena tekanan ekonomi, dan para korban lainnya. Kehadiran “wajah-wajah telanjang” itu menuntut kita untuk memberi pertolongan dan menyelamatkan mereka. Kehadiran mereka menggugah kita untuk bertanggung jawab. Kita hanya menjadi diri kita bila sungguh bertanggung jawab terhadap orang lain. Secara tegas keyakinan ini diungkapkan dengan “Respondeo Ergo Sum” (saya bertanggung jawab maka saya ada). Kita harus bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain.
Kehadiran korban, orang-orang lemah dan tak berdaya menempatkan kita dalam posisi orang yang tertuduh. Mereka berdiri sebagai hakim di depan kita dan selalu mempertanyakan tanggung jawab kita atas kehadiran mereka. Kita dituduh bersalah di hadapan mereka dan sekaligus diminta untuk menggantikan tanggung jawabnya. Tuduhan untuk bertanggung jawab ini merupakan sebuah sumber nilai etis bagi kita. Pergunakan kesempatan berharga ini agar kesejahteraan dan penghidupan yang layak kita alami bersama dalam kebersamaan hidup di negeri Indonesia ini.