Idealisme Absolut versus Allah Kristianitas

Galeri

Filsafat agama menuju abad ke-20 dapat dipahami sebagai sebuah kelanjutan dan pengembangan dari beberapa tema sentral filosofis dari abad ke-19. Tema-tema ini lebih dekat dengan dua orang filsuf awal abad ke-19 yakni: G. W. F. Hegel dan A. Comte. Hegel (1770-1831) mencoba untuk mendamaikan antara dunia yang terbatas dengan dunia yang takterbatas melalui sebuah perjalanan spiritual melewati kenyataan objektif, subjektif, dan roh absolut. Di dalam roh absolut, dia mencoba mendamaikan tegangan dalam pemikiran Immanuel Kant antara yang terbatas dan yang tidak terbatas, antara subjek dan objek, antara iman dan pengetahuan. Bagi Hegel, roh absolut itu satu, yakni keseluruhan yang takterbatas yang berisikan semua perbedaan dari ada yang terbatas. Agama dipahami menggambarkan atau melambangkan yang absolut di dalam bentuk imajinatif, dan filsafat dipahami untuk mengangkat dan menafsirkan bentuk-bentuk imajinatif tersebut di dalam term-term konseptual.

Semetara Hegel dan kaum idealis sedang berpikir tentang roh absolut di Jerman, Auguste Comte (1798-1857) yang berada di Perancis beralih dari pemikiran metafisik menuju ilmu oengetahuan empiris dan positif. Menurutnya, semua pengetahuan berkembang melalui tahap-tahap berikut ini: teologis, metafisik, dan positif atau ilmiah. Tahap teologis menjelaskan fenomena dan mengacu pada perantara-perantara spiritual-supranatural. Tahap metafisik menggunakan kekuatan-kekuatan abstrak untuk menjelaskan fenomena. Baru pada tahap teakhir atau tahap positif penjelasan-penjelasan disediakan melalui deskripsi-deskripsi empiris tentang relasi-relasi antara fenomena. Tahap metafisik dipahami telah menghancurkan ototritas iman yang diletakkan pada kekuatan-kekuatan supranatural yang melampaui dunia, Bacon dan Newton membuka era positif, ketika pejelasan-penjelasan metafisik dan religius digantikan oleh pejelasan-pejelasan ilmiah. Comte berpendapat bahwa pada masanya, ilmu pengetahuan sosial, yang bergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan alam, sedang memasuki tahap positif dengan hasilnya bahwa masyarakat pada dirinya sendiri dapat dijelaskan secara memuaskan dalam term-term ilmiah. Tambahan pada idealisme absolut Hegel dan hukum tiga tahapnya Comte, perkembangan yang menyolok dari ilmu pengetahuan empiris adalah publikasi Charles Darwin tentang “Asal-usul Spesies” (The Origin of Species) (1859) yang mempunyai banyak unsur yang membentuk studi-studi filosofis tentang agama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Bangkitnya Idealisme di Inggris

Sejak 1840-an, sintesis Hegel tentang yang terbatas dan yang takterbatas terus ditantang di berbagai tempat dan para Hegelian sendiri terpecah-pecah ke dalam sayap kiri dan sayap kanan. Sementara para sayap kanan melanjudkan persatuan yang dekat antara filsafat dan agama dan mencoba untuk mendamaikan filsafat Hegel dengan teisme Kristiani, para sayap kiri beranjak melampaui teisme menuju naturalisme dan akhirnya sampai pada ateisme. Bagi Ludwig Feuerbach dan Karl Marx, agama dipahami hanya sebagai sebuah “bentuk alienasi diri” yang membuat manusia terasing dengan dirinya sendiri dan dengan dunianya. Hal ini semakin diperparah, ketika dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan fisika yang lantas mengantar pada berakhirnya idealisme di Jerman pada abad pertengahan.

Akan tetapi, ketika idealisme mulai mengalami kematiannya di Jerman, secara perlahan-lahan di Inggris muncul kebangkitan para pemikir Hegel. Sepanjang abad ke-18 dan ke-19 di Inggris, filsafat dan agama berfokus pada argumen tradisional tentang adanya Allah. Perkembangan dalam ilmu pengetahuan empiris dan filsafat empiris yang didominasi oleh pemikiran Inggris selama periode ini, tentu saja menantang vailiditas argumen-argumen dan membuka jalan menuju skeptisisme religius. Thomas Reid (1710-1796) dan William Hamilton (1788-1856) mencoba untuk mengatasi skeptisisme ini, tetapi seruan kepada iman menurut akal sehat di satu sisi dan kepada hal-hal yang mutlak tak diketahui di sisi lain, yang dilakukan keduanya, justru malah menyediakan sedikit kesenangan bagi beberapa filsuf Inggris abad ke-19 yang ingin menjauhi baik terhadap skeptisisme religius maupun kepada ketertarikan terhadap otoritas religius. Ketidakpuasan mereka dengan alternatif-alternatif yang tersedia menyiapkan jalan bagi kebangkitan Idealisme Jerman di dalam filsafat Inggris beberapa puluhan tahun setelah kematiannya di Jerman. Pada tahun 1840-an dan 1850-an, banyak mahasiwa Inggris membaca karya-karya sastra dari Carlyle, Coleridge, dan Emerson. Dan di sana sudah ada pertentangan-pertentangan awal dengan idealisme di dalam karya Filsuf Skotlandia, J.F. Ferrier (1808-1864). Ferrier, tentu saja, sering putus asa di dalam usahanya untuk menggali rahasia Hegel dan mengapa bukan dirinya mampu mendirikan mazhab idealisme.

Buku dari J.H. Stirling (1865) tentang “Rahasia Hegel” sering dikutip sebagai sebuah poin yang sangat penting di dalam perkembangan Idealisme Jerman di Inggris Raya. Stirling adalah seorang mahasiswa filsafat di Univesitas Glasgow pada tahun 1840-an dan dia mendapatkan penghargaan pertama dalam filsafat moral. Setelah tamat dari Universitas Glasgow, dia belajar kedokteran dan menjadi seorang dokter di Wales. Selama waktu-waktu ini dia juga menulis tentang Carlyle dan beberapa tokoh sastra dunia. Pada tahun 1850, bersama dengan keluarga ia pindah ke Jerman di mana ia mulai mencari tahu tentang Hegel. Pada tahun 1857, Stirling kembali ke Inggris dan tiga tahun kemudian, ia pindah ke Edinburg di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Pada tahun akademik 1888-1889, dia menamakan Mata Kuliah Gifford pertama kali di Universitas Edinburg. Di dalam bagian pertama Mata Kuliah Giffordnya, Stirling menggemakan sebuah tema tentang pembedaan Hegel antara Vorstellungen dan Begriffe. Akan tetapi, dia tidak mengembangkan tema ini lebih jauh. Hal ini baru dikembangkan kemudian oleh muridnya, Andrew Caird.

Tokoh-tokoh Pilihan dan Pemikirannya

Edward Caird

Dari pengantar singkat di atas dapat dikatakan bahwa Universitas Glasgow merupakan salah pusat penting dari Neo-Hegelianisme dan dari antara para Hegelian Glasgow, Edward Caird (1835-1908) adalah yang terpenting. Setelah tamat dari Universitas Glasgow, di mana ia belajar Seni dan Keilahian, Caird memilih ke Snelle Exhibition dan masuk univesitas Balillol, Oxford. Di sana, dia dibimbing oleh seorang Ahli Yunani, Benjamin Jowwet yang merekomendasikan Hegel kepada semua mahasiswanya. Dia juga mengembangkan sebuah kerja sama yang dekat dengan T.H. Green, seorang idealis Inggris pertama yang cukup terkemuka. Caird dipilih menjadi Profesor Filsafat Moral di Glasgow pada tahun 1886 dan tetap mengajar di sana sampai 1893, ketika ia menerima posisi sebagai pimpinan Universitas Balillol. Pada 1877 Caird menerbitkan A Critical Account of the Philocophy of Kant di dalam mana ia menyajikan Kant sebagai seorang yang mampu melihat secara jeli jalan buntu yang terjadi di dalam filsafat kontemporer yakni: di antara mereka yang terlalu menekankan subjek dan yang terlalu menekankan objek di dalam pengetahuan. Kant melihat bahwa pengetahuan merupakan sebuah kesatuan dari elemen-elemen yang dapat dibedakan, tetapi serentak tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Bagi Caird, persoalan utama bagi filsafat adalah kebutuhan untuk mengatasi aneka oposisi bagi kehidupan spiritual yang dihasilkan dari pembagian antara diri dan dunia, yang terbatas dengan yang tak terbatas, dan yang sekular dan yang kudus. Caird secara khusus tertarik dengan isu ini dalam iklim agama, di mana fondasi-fondasi bagi bangunan agama sedang ditantang oleh ilmu pengetahuan, kritisisme biblis dan filsafat.

Caird diundang dua kali untuk memberikan kuliah Gifford, pertama di Universitas Andrews selama tahun akademik 1890 dan 1892, dan kemudian di Universitas Glasgow selama 1900-1902. Kuliah pertama diterbitkan di bawah judul The Evolution of Religion, dan yang kedua berjudul, The Evolution of Theology in the Greek Philosophers. Di dalam kedua seri, dia menjelaskan bahwa agama tetap tidak membutuhkan bukti dari filsafat dan bahwa agama yang sesungguhnya, pertama-tama bukan merupakan sebuah pertimbangan atau argumen yang sadar. Agama merupakan soal intuisi, impuls atau perasaan dan bukan sesuatu yang diciptakan oleh filsafat atau teologi. Agama, sebagaimana dikatakan Hegel adalah elevasi jiwa menuju Allah. Pada masa itu, tentu saja, hampir-hampir sulit bagi agama untuk menghindari membawa pengalaman yang takterefleksikan ini ke dalam refleksi. Hal ini secara khusus terjadi dalam kristianitas, kata Caird, di mana, pun di dalam ungkapan-ungkapan Perjanjian Baru yang lebih konkret, di sana ada bukti-bukti bibit teologi dan filsafat agama. Baginya, teologi tetap bukanlah agama.

Di dalam seri kedua dari Kuliah Gifford, Caird menunjukkan bahwa ciri khas mendasar dari periode Yunani dan Romawi klasik adalah terpisahnya filsafat dari agama. Filsafat secara esensial bebas dari berbagai otoritas eksternal dan menjadi sebuah tempat perlindungan bagi yang tidak dapat hidup dengan suasana mitos. Namun selama era kristianitas, relasi antara filsafat dan agama secara esensial menyebabkan pemikiran-pemikiran filosofis kehilangan kebebasannya dan sejak sistem besar Skolastik dibangun, argumen bagi kesimpulan-kesimpulan kemudian menggantikan investigasi filosofis dan keilmuan. Di tangan para Sokalastik, Kristianitas berubah dari sebuah iman yang hidup menjadi sebuah tubuh dogma yang mati. Para Reformator menantang sistem Kristianitas abad pertengahan dengan mengemukakan sebuah iman yang bergantung pada pengalaman akan yang ilahi, tetapi mereka tidak mempertegas kembali kemandirian akal budi.

Di dalam filsafat modern, akal budi menyadari kembali kebebasannya tetapi untuk sebagian besarnya mengambil sebuah sikap kritis terhadap agama, mendorongnya semakin jauh menjadi semacam parameter bagi hidup. Filsafat tentu saja tidak dapat mengabaikan agama sama seperti yang terjadi di periode Yunani. Proses ini mencapai puncaknya dalam karya Kant dan di dalam tradisi spekulatif yang mengikutinya. Selama abad ke-18 dan ke-19, filsafat sering dipahami menjadi musuh bagi iman dan pun banyak filsuf yang mencoba untuk mempertahankan tempat bagi agama, tetap mereduksi Allah sebagai yang tidak dapat diketahui. Pada saat yang sama para teolog berargumen bahwa para filsuf menggantikan pemikiran abstrak bagi pengalaman dan transformasi hidup yang menyertai agama. Dikotomi antara agama dan filsafat ini menyebabkan sebuah pemisahan antara pengalaman langsung dan usaha refleksi kita untuk memahami diri kita sendiri dalama relasi kita dengan sesama, dunia, dan dengan Allah.

Inilah yang dimaksudkan oleh Caird, yang mengikuti Hegel, untuk mengatasi pertentangan ini. Fisafat dipahami untuk membawa pengalaman manusia kepada artikulasi diri yang sadar. Filsafat, menurutnya, tidak dapat menjadi pengganti bagi pengalaman yang menjadi sumbernya. Demikian pun filsafat tidak dapat dipisahkan begitu saja dari pengalaman manusia. Pemikiran, perasaan dan keinginan merupakan bentuk-bentuk dari kesadaran yang membentuk kesatuan. Kesatuan ini tidak berarti menolak adanya perbedaan. Dan untuk percaya kepada Allah, sebagai usaha terakhir, secara sederhana berarti menyadari bahwa di sana ada sebuah prinsip kesatuan di dalam keseluruhan, yang berarti juga memberikan kesatuan kepada eksistensi kita sebagai ada yang berkesadaran-diri. Kunci untuk memahami agama adalah prinsip kesatuan ini dan ini membedakan agama dari pandangan sekular tentang realitas. Agama berasal dari kesatuan yang menggarisbawahi semua pembedaan antara subjek dan objek dan yang terbatas dan tidak terbatas. Caird berpendapat bahwa hal ini bisa ditunjukkan melalui studi tentang sejarah perkembangan agama. Agama merupakan tahap suksesif dari perkembangan sebelumnya.

Ketika menelusuri perkembangan historis agama, bukanlah maksud Caird untuk berpendapat bahwa di sana ada tahap yang terpisah dan mandiri secara jelas. Di sana ada tiga tahap utama di dalam sejarah perkembangan kesadaran religius: pertama didominasi oleh objek, kedua didominasi oleh subjek dan ketiga oleh prinsip kesatuan di dalam subjek dan objek. Tetapi pun di dalam tahap yang lebih awal, pribadi tidak tanpa pengetahuan akan kesatuan atau Allah. Di dalam tahap pertama, Allah direpresentasikan sebagai kekuatan atau objek eksternal bagi pribadi. Tahap ini diilustrasikan di dalam bentuk-bentuk agama yang paling awal mulai dari fetisisme sampai pada himne-himne Vedic. Pada tahap kedua Allah dipahami sebagai ada spritual yang mengatasi baik alam maupun manusia. Tahap ini diilustrasikan dalam cara-cara yang berbeda di dalam Budisme, Stoisisme, dan Yudaisme dan tampak dalam bentuk yang dimodifikasi di dalam Puritanisme dan di dalam bentuk filososfis di dalam karyanya Kant. Allah mengambil bentuk kesadaran-diri, tetapi relasi antara pribadi dengan Allah, sebagaimana pada tahap pertama, secara mendasar tetaplah bersifat eksternal. Di sini, dunia eksternal dilihat sebagai tidak real dan pribadi manusia berada jauh dari Allah.

Pada tahap yang kedua, sebuah kerinduan akan persatuan dengan yang ilahi berkembang dan ini menyiapkan jalan bagi tahap ketiga di dalam mana yang ilahi dipahami termanifestasi sebagai yang lain dari alam dan kesadaran-diri. Ini adalah tahap dari agama absolut. Menurut Caird, inilah satu-satunya bentuk agama bagi manusia modern yang paham akan roh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkonsentrasi pada objek tetapi juga mencoba untuk menemukan hukum-hukum universal dan ini mensyaratkan hubungan pikiran dengan objeknya, yang berarti juga sebuah kesatuan di dalam perbedaan. Manusia modern dikatakan alergi ketika menyembah Allah sebagai objek dari alam atau seorang pribadi yang diidealkan. Bagi manusia modern, Allah haruslah universal. Jika ide tentang Allah dapat diterima oleh manusia-manusia modern, itu harus ditunjukkan bahwa ide tentang Allah sebagai kesatuan antara pengetahuan dan yang ada dapat dikembangkan di dalam sebuah cara yang konsisten. Dan di dalam agama absolut atau khususnya kristianitas yang dianut oleh Caird ini dapat ditemukan kesatuan ini. Mengapa disebut demikian?

Sebab di sana, Allah tidak dipahami sebagai sebuah kekuatan natural dan juga sebagai ada yang bersifat spiritual atau kekuasaan absolut yang diletakkan bertentangan dengan alam. Allah diterima sebagai pribadi yang memanifestasikan diri-Nya di dalam proses alam semesta dan di dalam proses roh yang melampaui alam. Allah adalah roh sama seperti di dalam agama subjektif, tetapi Allah tidak meniadakan alam. Allah adalah imanen di dalam alam seperti di dalam agama objektif, tetapi juga mengatasi alam dan menggunakan alam sebagai sebuah sarana bagi kehidupan roh. Sama seperti semua agama, Kristianitas mempunyai evolusinya sendiri dan kepenuhan maknanya direalisasikan hanya dalam bentuk-bentuk yang paling akhir ini. Caird yakin, tentu saja, bahwa ide tentang kesatuan sudah diekspresikan dalam kehidupan dan ajaran Yesus dan ini memungkinkan semua pribadi menjadi sadar akan persatuan ini.

John Caird

Edward Caird mempunyai perhatian yang sama dengan kakaknya John Caird dalam hal fokus perhatian mereka kepada kesatuan antara yang ilahi dan yang manusiawi. John Caird (1820-1898) melayani sebagai Profesor Teologi Sistematik di Universitas Glasgow dan kemudian sebagai Kepala Sekolah. Buku pertama dan yang terpentingnya adalah Introduction to the Philosophy of Religion, didasarkan pada Kuliah Croall yang diberikan di Universitas Edinburg selama sesi akademik 1878-1879. Di bukunya ini, ia mengemukakan tema-tema Hegelian yang akrab yang telah kita lihat dalam karya saudaranya di atas. Baginya, filsafat agama mulai dengan sebuah pembedaan antara agama di dalam mana objek-objek hadir dalam sebuah cara yang langsung bagi kegembiraan spritual, dan filsafat di dalam mana ide-ide religius menjadi objek-objek refleksi rasional. Perasaan-perasaan religius diungkapkan dalam representasi-representasi figuratif yang hanya berisikan pengetahuan maya dan impilisit dan membutuhan ekspresi dan pembenaran di dalam sebuah bentuk yang lebih tinggi dari pengertian intelektual atau pemikiran spekulatif. Tujuan akhir dari semua pemikiran adalah bukan untuk membatasi atau menegasi pikiran tetapi kesatuan dari pikiran dan yang ada.

Di dalam Kuliah Gifford yang dipublikasikan sepeninggalnya, The Fundamental Ideas of Christianity, John Caird membedakan antara teologi alamiah dan diwahyukan dengan teologi yang selalu berubah dan tidak dapat dipertahankan. Akibatnya, menurut Caird, agama yang diwahyukan membentengi diri terhadap kecerdasan kritis dan filosofis. Pertanyaannya adalah apakah akal sehat yang dapat memahami ide-ide yang diwahyukan berbeda dengan pertanyaan tentang sumber dari ide-ide tersebut, atau apakah semua ide tersebut dikomunikasikan dari sebuah sumber supranatural? Menurutnya, pewahyuan tidak menambahkan pengetahuan kita sehari-hari dengan sebuah tingkatan supranatural, tetapi hanya memampukan kita untuk menembus masuk ke dalam makna spiritual dan moral dan prinsip-prinsip dunia di mana kita hidup. Di sini, fungsi akal budi atau filsafat adalah untuk mendapatkan dan membuktikan prinsip-prinsip ini. Pun jika di sana ada sebuah pewahyuan supranatural dan melampui dunia, hal itu pun harus tersedia di dalam pengalaman dan inteligensi manusia. Proses apropriasi di dalam kesadaran manusiawi ini merupakan bidang wewenang dari fisafat. Sebab menurutnya, kita tidak dapat mengenal dan membuktikan banyak klaim-klaim religius yang tidak dapat diterima oleh kesadaran manusiawi. Lebih lanjut, menurut Caird, perbedaan tajam antara teologi alam dan teologi wahyu tidaklah konsisten dengan pemikiran Kristen yang mengubah, mengangkat, dan mengerjakan sebuah perubahan fundamental di dalam semua pokok-pokok sebelumnya. Tentu saja, Kristianitas dipahami sebagai bentuk yang tertinggi dari agama yang menyediakan penjelasan tentang bentuk agama natural yang lebih rendah dan tidak sempurna.

Di dalam volume pertama dari Kuliah Gifford, Kepala Sekolah Caird memakai pendekatan umumnya bagi ide Kristiani tentang Allah. Di sini, dia menolak konsep panteistik tentang Allah, karena di dalamnya ada tendensi untuk membatalkan dunia yang terbatas. Dia menolak konsep dualistik karena konsep ini gagal menjembatani jurang antara yang terbatas dengan yang tidak terbatas dan kecenderungan konsep ini untuk mereduksi Allah kepada kekuasaan yang takberaturan dan bersifat eksternal. Menurutnya, sebuah konsep yang adekuat tentang Allah haruslah konsisten dengan kenyataan dunia, kebebasan, dan dengan individualitas dari pribadi manusia, tanpa mengorbankan kebsolutan kodrat Ilahi. Akan tetapi, tidaklah benar jika dikatakan bahwa panteisme dan konsep dualistik tentang Allah adalah sama sekali salah. Lebih baik dikatakan bahwa mereka mewakili tahap yang mengantar pada perkembangan konsep selajutnya yang lebih adekuat yang muncul dalam kristianitas. Di sini, Allah diterima sebagai roh yang menyingkapkan diri secara tidak terbatas, yang diyakini Caird berisikan elemen-elemen yang perlu bagi sebuah konsep yang adekuat tentang Allah. Tindakan Allah bukan hanya seperti sebuah perusahaan menghasilkan produknya atau sama seperti sebuah agen eksternal yang bertindak di atas kita. Tindakan Allah bukanlah tindakan yang berasal dari seorang pencipta atau pengatur eksternal, tetapi dari seeorang yang mengilhami kita dari dalam batin kita, yang berpikir melalui pikiran kita, yang menghendaki melalui kehendak kita, sebuah terang bagi semua pengelihatan kita, dan menjadi inspirasi bagi semua yang kita lakukan.

Henry Jones

Tidak sama seperti Caird, Henry Jones (1852-1922) bukanlah seorang Skotlandia. Dia dilahirkan di Llangernyn. Dia adalah murid dari Edward Caird dalam garis pemikiran Hegelian. Sepanjang karirnya, dia mengakui bahwa dia adalah murid dari Caird. Dia sangat aktif di dalam urusan sipil dan pendidikan dan menjadi salah satu guru yang paling berpengaruh di Skotlandia. Kontribusi filosofisnya yang utama adalah memperlihatkan bahwa Hegelianisme tidaklah hanya merupakan sebuah teori yang abstrak, tetapi sebuah teori yang mempunyai relevansi langsung dan konkret bagi kehidupan beragama dan moralitas sehari-hari.

Sejak 1929, ketika Jones diundang untuk memberikan Kuliah Gifford, sikap terhadap agama telah berubah dibandingkan dengan tahun 1888, tahun pertama kuliah. Di satu sisi, skeptisisme religius kurang militan dibanding mereka yang berada dalam masa jaya Darwin dan Huxley, dan ilmu pengetahuan alam pun menjadi lebih sadar akan keterbatasan tugasnya. Di sisi lain, para umat beriman semakin kurang menekankan lagi pada pewahyuan yang ajaib dan lebih suka tinggal dalam upaya untuk menafsirkan imannya. Jones mencatat juga bahwa di sana ada sebuah tendensi untuk menggantikan nilai-nilai emosional demi ide-ide intelektual dalam agama, sebuah tendensi yang dia atribusikan karena pengaruh Rudolf Hermann Lotze (1817-1881), yang berkarya demi kebangkitan kembali Inggris Raya. Semua hal ini berakar pada keyakinan bahwa setiap pribadi manusia mempunyai sebuah relasi yang langsung dengan yang ilahi di dalam pengalaman religius.

Jones menantang pandangan ini di dalam Kuliah Gifford-nya, A Faith That Inquires. Menurutnya, berbicara tentang suatu ada yang tidak terbatas yang pada dasarnya tidak dapat diketahui, merupakan sebuah ide yang membingungkan. Jika seseorang mencoba untuk memisahkan pengetahuan religius, iman, dan kehidupan satu sama lain, dan berpendapat bahwa iman itu berbeda dengan pengetahuan dan kelakuan, orang tersebut akan berakhir dengan konsep-konsep yang mandul atau tingkah laku yang tidak teratur. Baginya, agama haruslah memuaskan rasa ingin tahu intelektual sama seperti dia memuaskan hati. Agama bagi Jones mempunyai dua karakrteristik utama yakni: pencarian akan yang terbaik atau yang paling sempurna yang disebut dengan nama Allah dan juga bersifat praktis. Seluruh hidup manusia diarahkan pada usaha untuk menggapai yang terbaik. Dari sebab itu, agama dan moralitas sangatlah dekat hubungannya. Akan tetapi, di sini Jones tidak bermaksud mengatakan bahwa agama dan moralitas adalah satu, tetapi dia justru ingin menghindari dualisme dari Kant dan Green dan juga Bosanquet yang diyakininya tidak bersikap adil terhadap moralitas dan relasi antara moralitas dan agama. Posisi Jones sendiri, yang disebutnya Realisme Spiritual, adalah mencoba untuk mendemonstrasikan bahwa di dalam segala sesuatu ada karya dari prinsip yang tidak terbatas yang bekerja sebagai sebuah kekuatan natural dan mewahyukan dirinya di dalam aktivitas spiritual manusia. Menurutnya, sama seperti Edward Caird, seseorang dapat mengamalkan sebuah tujuan hanya jika hal itu terkait dengan dunia. Jika kita mencabut diri kita dari kenyataan dunia ini, seperti yang dilakukan dalam imperatif kategoris-nya Kant, kita akan berhadapan dengan konflik antara yang spiritual dan yang alamiah.

Baginya, jika hal ini terjadi maka idealisme gagal untuk menyusun sebuah pandangan yang konsisten tentang kesatuan antara makhluk bermoral dan dunianya, dan dengan kemerdekaannya atau kebebasannya. Kebebasan tidak datang dengan sendirinya dalam keadaan yang terpisah dari dunia, melainkan melaluinya. Dunia adalah rekan di dalam aktivitas spiritual kita dan memampukan kita untuk mewujudkan keberadaan kita secara lebih baik.

Hal ini bertolak dari beberapa pemikiran yang meletakan konflik antara agama dan moralitas, di mana agama dilihat bertentangan dengan gagasan bahwa kelakuan moral bergantung pada kebebasan pribadi untuk menetapkan dan merealisasikan idenya sendiri. Jones berusaha untuk mendamaikan yang terbatas dengan yang takterbatas pada sebuah dasar bahwa kita adalah yang terbatas di dalam proses. Dengan demikian, setiap tindakan yang baik merupakan realisasi dari yang takterbatas. Di dalam ungkapan religius, seseorang dapat berkata bahwa kebaikan Allah yang tidak terbatas bekerja melalui kehendak manusia. Dunia manusia adalah dunia moral yang sedang berproses untuk menjadi dan proses ini mencakup baik moral maupun religius, manusiawi maupun ilahi, yang terbatas maupun yang tak terbatas. Dengan mengilangkan diri di dalam yang tidak terbatas, pada saat yang sama kita menemukan diri kita di dalam dunia dan membentuknya di dalam keserupaan dengan Yang Terbaik atau Yang Tidak Terbatas.

Konsep religius tentang alam semesta sebagai sebuah proses spiritual, bagi Jones merupakan sebuah hipotesis umum kepadanya kita diantar masuk ke dalam refleksi tentang pengalaman dan asal kita. Lalu bagaimana bisa menjelaskan eksistensi kejahatan dalam konsistensi dengan hipotesis ini? Menurutnya, dunia spiritual harus menjadi sebuah sekolah bagi kebajikan sebab setiap pribadi harus diperbolehkan untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan.

Jones menentang pemikiran Bosanquet dan Bradley. Sebab menurut Jones, mereka tidak sanggup menentukan individualitas kepada yang manusiawi dan kepada yang absolut. Bagi Jones, menjelmanya Allah telah mengangkat kepribadian manusia. Melalui penjelmaannya, Allah memberdayakan setiap pribadi untuk bertumbuh.

Dengan demikian, dunia dilihat sebagai yang sangat bersahabat dan penuh pertolongan dan Allah dipahami sebagai kehadiran yang menginspirasikan, memberdayakan, dan membimbing, dan bukan sebagai sebuah monarki yang absolut yang menghilangkan dari dunia bayangannya akan kesempurnaannya sendiri. Dengan demikian, keabadian bukanlah perkara nanti setelah kematian kita, melainkan dimulai sejak saat ini dan pemenuhan secara tuntasnya baru terjadi kemudian. Setiap kekinian membawa serta di dalam dirinya sesuatu di masa lalu dan di masa depan dan karenanya selalu melamapaui kategori waktu. Karena itu, makna dan nilai dari masa lalu dikumpulkan di dalam masa kini dan segala kemungkinan di masa depan ada juga di dalamnya.

Itulah kurang lebih garis besar pemikiran tiga tokoh dalam idealisme absolut.

Catatan Kritis: Agama dan Teologi dalam Dunia Postmodern

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa aliran idealisme absolut dari para filsuf agama sangat dipengaruhi oleh Hegel dan Comte. Jadi jelaslah bahwa filsafat agama merupakan tendensi berpikir modern yang cikal bakalnya sudah mulai dirintis oleh Descartes. Dalam kerangka berpikir modern ini, agama dan hal-hal spiritual cenderung sulit mendapat tempat. Mengapa? Dunia modern yang sedemikian mengandalkan ilmu empiris dan teknologi menyebabkan prioritas berlebihan hanya pada segala yang dapat diukur, didemonstrasikan, diverifikasi, dan direkayasa. Akibatnya, realitas yang diakui keberadaannya hanyalah yang material, fisik, dan natural saja. Inilah yang disikapi secara hati-hati oleh Gereja Katolik, agar kita tidak jatuh ke dalam tendensi materialisme absolut yang menegasi hal-hal yang bersifat ilahi, jiwa, dan Tuhan itu sendiri.

Dualisme jiwa dan tubuh, spiritual dan material, yang awalnya digagas oleh Descaretes di awal modernisme, akhirnya berujung pada sebentuk epistemologi dan ontologi yang materialistik belaka, tanpa jiwa, tanpa dimensi spiritual. Atau, kalaupun dimensi jiwa dan spiritual dianggap masih ada, maka itu lebih dilihat sebagai keyakinan pribadi dan masuk pada wilayah privat. Akibatnya, dalam dunia modern terjadi dualisme yang takterjembatani antata wilayah publik dengan jenis pengetahuan ilmiah, dan wilayah privat dengan segala kepercayaan dan takhayulnya; antara wilayah material-fisik dan wilayah spiritual-nonfisik; antara sains dan agama; akhirnya antara dunia natural dan dunia spiritual. Bahkan dalam berbagai kritik ala Hegel, Freud, Feurbach, Marx, dan Comte misalnya, agama dan cara pandang spiritual dianggap hanyalah semacam tahapan infantil alias tahap kekakanak-kanakan yang mesti diatasi.[1]

Dengan demikian, isu yang diangkat oleh filsafat agama di sini, oleh kaum Hegelian tetaplah releven dalam meredefinisi segala bentuk teologi dan agama bagi dunia postmodern (jika diterima adanya kenyataan ini!) yang katanya mempunyai minat kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan agamis. Akan tetapi, bentuk agama yang diminati oleh orang-orang zaman sekarang bukanlah agama-agama besar yang telah mapan, melainkan lebih kepada agama tanpa agama, atau sebuah spiritualitas tanpa agama. D. R. Grifin di dalam bukunya yang telah disebutkan di atas melihat adanya dua konteks yang harus dihadapi oleh teologi dan agama pada masa kini. Pertama, orang-orang non-modern yang sangat tertarik dengan masalah-masalah agama atau spiritual, tetapi merasa bahwa teologi tradisional tidak masuk akal dan teologi modern tidak relevan lagi. Kedua, orang-orang yang sepenuhnya modern yang, karena anggapan-anggapan yang mereka peroleh dari kultur modern, mengesampingkan baik spiritualitas religius maupun teologi.

Dari sebab itu, teologi menurut Griffin haruslah menjadi sebuah refleksi rasional tentang hal-hal yang kita anggap suci, yaitu yang memiliki nilai terpenting (ultimate importance) demi dirinya sendiri. Dan bentuk refleksi semacam inilah yang dilihat Griffin telah menghilang dari wacana publik dalam dunia modern. Salah satu dimensi utama zaman postmodern adalah penolakkannya terhadap pendekatan modern atas keyakinan religius, yang menolak kebenaran kepercayaan religius baik secara apriori maupun secara keseluruhnnya atau yang membatasi relevansinya pada wilayah privat saja.

Akan tetapi, Kesadaran-diri postmodern yakin bahwa “intuisi” religius setidak-tidaknya memiliki bobot yang sama dengan intuisi-intuisi indrawi, logis, dan matematis dalam membangun suatu pandangan dunia. Di samping itu, adalah tidak rasional untuk menyatakan bahwa dimensi religius kehidupan kita “tidak relevan” terhadap kehidupan masyarakat. Satu alasan tentang klaim yang terakhir ini adalah bahwa kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarkat sebenarnya tidak dapat dipisahkan.

Dengan demikian, keyakinan religius bukan hanya menjadi wilayah privat melalui privatisasi agama dan keyakinan, melainkan menjadi bagian integral dari kehiduapan publik. Sebab ketika terjadi privatisasi terhadap agama dan keyakinan dalam kehidupan publik, maka agama ibarat menjadi pakaian yang mudah ditukar dalam pengenaannya. Artinya, ketika masuk dalah ranah publik, saya dapat dan harus menanggalkan keyakinan dan agama saya. Apakah idealnya demikian? Bukankah hal ini lantas menghasilkan pemisahan yang tegas antara ortodoksi dan ortopraksis, di mana ajaran agama tidak mempunyai daya transfomasi dalam berbagai bidang kehidupan baik pibadi maupun bersama?

Di tengah konteks dunia postmodern yang demikian, diakui bahwa memang teologi telah mengalami penurunan derajad dalam dunia modern. Setelah menjadi ratu ilmu pengetahuan pada masa skolastik (abad pertengahan), ilmu ini menurut Richard Rorty tidak berharga lagi di antara disiplin-disiplin ilmu lain.[2]

Akan tetapi, kita perlu membedakan bahwa di dalam lingkungan intelektual, biasanya teologi dibagi menjadi dua. Jenis pertama disebut teologi konservatif-fundamentalis yang mendasarkan diri pada adanya suatu wahyu supranatural yang secara historis tidak dapat diuji kebenarannya, juga ketika diuji dengan kaca mata ilmu pengetahuan. Jenis kedua, adalah teologi liberal modern yang berusaha menghindari konflik dengan ilmu pengetahuan dan sejarah modern, namun tanpa mengungkapkan sesuatu pun yang siginifikan. Teologi ini menggunakan kata “Tuhan” untuk memberi selubung religius pada cara pandang sekularisme terhadap realitas yang nihilistik. Karena teologi konservatif-fundamental tidak ilmiah dan teologi liberal modern ternyata hampa, maka keduanya dapat diabaikan saja. Karena masyarakat pada umumnya menganggap bahwa teologi adalah dua jenis tersebut, maka lalu disimpulkan bahwa teologi bisa diabaikan.

Ada dua alasan yang dikemukakan oleh Griffin mengapa teologi pada zaman modern diabaikan.[3] Pertama, Tuhan, nilai-nilai transenden, dan jiwa manusia (dengan kebebasannya) yang merupakan inti dari visi religius yang berdasarkan tradisi Kitab Suci tidak lagi diizinkan berperanan dalam semesta oleh pandangan dunia ilmiah modern, paling tidak dalam bentuknya yang kedua. Pandangan ini mucul pada abad ke-18 dan menjadi dominan pada paro kedua abad ke-19. Dalam konteks ini, tampaknya para teolog dipaksa untuk memilih: menolak serta mengabaikan ilmu dan pandangan dunianya, sehingga menjadi anti-ilmu atau menerimanya sehingga menjadi teologi tanpa Tuhan, tanpa nilai-nilai transenden, dan tanpa jiwa yang berkehendak bebas. Teologi ini menantang pandangan dunia modern bukan berdasarkan otoriterisme anti-ilmu, melainkan berdasarkan pemahaman yang sepenuhnya lebih rasional atas realitas. Sayangnya para pelopornya belum terlalu banyak dan menonjol, lagi pula perbedaan dengan teologi liberal modern tidak begitu tanpak atau kurang jelas diungkapkan. Oleh sebab itu, bisa dipahami jikalau teologi jenis ketiga tidak terlalu banyak mendapat perhatian kita.

Alasan kedua yang menyebabkan teologi tersisih dalam dunia modern adalah karena ia dianggap tidak relevan lagi. Modernitas sudah memiliki pengganti teologi. Teologi adalah sikap dan pertahanan diri orang beriman untuk mencapai keselamatan. Dalam masyarakat liberal modern, keselamatan dianggap bisa diperoleh melalui kemajuan materi, yang dimungkinkan oleh pasar dan teknologi sains. Ilmu ekonomi dan ilmu alam dengan dukungan filsafat ilmu, merupakan dua cabang utama pengganti teologi pada zaman modern. Ilmu-ilmu alam menjadi pengganti teologi era modern yang mampu memberi kebenaran dasar tentang alam semesta, sehingga menggantikan kedudukan teologi terdahulu beserta dengan doktrin-doktrinnya yang dianggap palsu dan naif. Filsafat ilmu modern menjadi tandingan bagi apa yang di kalangan Katolik disebut sebagai “teologi fundamental” atau “apologetik” di kalangan Protestan. Artinya, metode ilmiah merupakan cara yang paling bisa diandalkan untuk mencapai kebenaran. Dalam bentuknya yang paling fundamental dan representatif, seperti empirisme logis, filsafat ilmu modern yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya akses untuk mendapatkan kebenaran dan satu-satunya badan doktrin yang sejati. “Allah” ilmu pengetahuan adalah allah yang cemburu, yang tidak mengizinkan allah-allah lain: baik metafisika, akal sehat, maupun teologi yang sudah dianggap lebih “tidak ilmiah” lagi.

Dengan demikian, sebenarnya, teologi yang menjadi ujung tombak refleksi kristis atas pengalaman iman dalam agama tersisih dalam percaturan dunia modern, karena tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang sekaligus rasional dan bermakna. Selain itu, kehausan religius masyarakat modern untuk mendapatkan keselamatan telah menciptakan pengganti teologi.

Akan tetapi, fajar baru mulai terbit kini. Apa itu? Secara negatif mulai goyah kepercayaan pada pandangan dunia yang materialistik dan pada gagasan bahwa keselamatan diperoleh melalui kemajuan material dan fisikal. Secara positif, kini muncul pandangan dunia postmodern yang didukung banyak ilmuwan dan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan; juga tumbuh minat besar kepada bentuk-bentuk kemasyarakatan dan kehidupan spiritual postmodern.

Hal ini bagi Griffin haruslah mendorong pencarian dan penemuan wajah teologi yang baru untuk menjawab konteks postmodern ini. Dari sebab itu, teologi postmodern haruslah tidak seperti teologi liberal modern karena harus mengungkapkan visi yang benar-benar religius tehadap dunia, tanpa mengambil sikap anti-ilmu dan anti-rasional seperti teologi konservatif-fundamentalis modern. Teologi postmodern ini bisa dibangun berlandaskan teologi jenis ketiga seperti yang telah disinggung sebelumnya, yang menantang pandangan dunia modern berdasarkan deskripsi realitas yang lebih rasional dan empiris. Dalam konteks baru ini, teologi bisa bergerak lebih berani tanpa terlalu melewati batas baik bagi para teolog maupun bagi para pembacanya.

Di dalam teologi postmodern, keyakinan mengenai Tuhan lebih bersifat teisme naturalistik, yang berbeda dengan teisme supernaturalistik dalam teologi zaman pramodern seperti yang dikritik oleh kaum Hegelian di atas, juga berbeda dengan naturalisme nonteistik dalam pandangan dunia modern akhir. Pandangan dunia yang naturalistik seringkali disamakan dengan pandangan yang nonteistik; meskipun kata Tuhan dipakai oleh seorang naturalis, kata itu tidak mengarah kepada suatu pribadi di luar dunia yang bisa memberi pengaruh pada dunia. Sebab pengakuan akan kenyataan ilahi seperti ini akan dianggap memuat supernaturalisme seperti kritikan kaum Hegelian di atas. Di sini, teologi postmodern menawarkan sebuah visi baru dalam teologi yakni naturalisme yang teistik dan teisme yang naturalis.[4]

Secara epistemologis, teologi postmodern berlandaskan pada pegakuan akan adanya pencerapan atau persepsi non-inderawi. Ditegaskan bahwa bentuk pesepsi noniderawi ini tidak hanya ada (pasti mengejutkan bagi pemikrian modern!), tetapi juga menjadi cara dasar kita untuk berhubungan dengan lingkungan; dari situlah diturunkan persepsi inderawi. Pandangan ini menantang tonggak utama pemikiran modern yang berbasiskan pada sensasionisme. Menurut sensasionisme, persepsi iderawilah satu-satunya cara dasar untuk memahami kenyataan di luar diri kita. Keunggulan pencerahan noniderawi, yang menurut Alfred North Whitehead dinamakan prehension, merupakan salah satu sumbangan Whitehead yang utama bagi teologi postmodern. Keunggulan prehension postmodern ini mendukung dan mengembangkan ‘empirisme radikal” yang merupakan sumbangan penting dari William James. Empirisme nonsensasionis yang radikal ini melatarlabelakangi teisme naturalistik dan pengakuan akan adanya persepsi langsung atas norma-norma atau nilai-nilai, dan dengan demikian, mengembalikan etika dan estetika ke diskursus kognitif.

Kesimpulan

Dengan demikian, sesungguhnya apa yang menjadi kerinduan dari para Hegelian di atas akan sebuah agama yang tetap bermakna sekaligus rasional sungguh ditanggapi secara serius oleh para teolog Katolik masa kini terutama oleh kaum Neo-whiteheadian Amerika Serikat yang melahirkan teologi postmodern dengan aneka karakter mendasar seperti terungkap di atas. Mengapa? Karena jika masih mau agama itu relevan dan teologi itu bisa didengarkan di dalam dunia postmodern, maka pembaharuan diri haruslah menjadi sebuah habitus atau cara berada dari agama dan teologi. Jika tidak demikian, maka agama dan teologi akan mengalami alienasi di tengah dunia dewasa ini karena tidak mempunyai relevansinya lagi dengan kehidupan manusia. Tujuannya jelas agar agama dan teologi tidak menjadi konservatif-fundamentalis, melainkan terbuka terhadap aneka perkembangn dalam dunia. Akan tetapi, tetap perlu diperhatikan juga jangan sampai teologi dan agama kehilangan identitasnya dan saripati pesan yang ingin disurakan di tengah dunia yang kian hari kian sekular ini. Tujuannya agar tidak jatuh dalam teologi liberal modern yang kehilangan jati dirinya dan menjadi hampa.

Ilusi Kemodernan

Standar

Peradaban manusia sejak abad ke-17 (rasionalisme pencerahan) sudah dibentuk ke arah modern. Akan tetapi, kemodernan dewasa ini dikritik habis-habisan. Ada beberap macam modernitas: 1)modernitas intelektual atau yang berkaitan dengan konsep-konsep umum; 2) modernitas psikologis: yang berkaitan dengan konstruksi mental (Pascal, Freud, Rousseau); 3) modernitas kultural: yang berkaitan dengan kebudayaan. Akan tetapi, kita perlu membedakan antara modernisme dan modernitas. Modernisme terkait dengan kerangka-kerangka teoretisya (cara berpikirnya), sedangkan modernitas lebih terkait dengan situasi praktis (perilaku, pola-pola iteraksi, pranata-pranata). Hal ini berarti istilah modenitas lebih cocok dipakai dalam modernitas intelektual.

Dewasa ini terjadi berbagai gejala ambiguitas dalam modernitas. Pertama, Refleksivitas ilmiah meningkat atau menjadi sangat intens dibandingkan zaman-zaman sebelumnya. Perbedaannya dengan zaman sebelumnya adalah keilmiahannya yang sangat empiris dan sekaligus selalu berlandaskan keraguan (meragukan segala sesuatu). Keraguan ini dilembagakan dalam sains (IPTEK). Hal ini melahirkan kontinuitas melalui diskontinuitas (ruptures: aliran pemikiran yang satu menghantam aliran yang lain dan berusaha membangun sistem pemikirannya sendiri yang mandiri). Hal ini mengingatkan kita akan seorang filsuf bernama Karl Popper yang berpendapat bahwa “yang paling penting di dunia adalah falsifikasi atau bagaimana menumbangkan aliran atau teori yang satu dengan teori yang lain.” Pendapat ini dipicu oleh suasana modern yang berkaitan dengan survival of the fittes (siapa yang kuat dia yang menang) yang dilontarkan oleh Darwin di dalam teori evolusi yang dikembangkannya. Konsekuensi logisnya adalah munculnya persaingan atau kompetisi di dalam berbagai ranah kehidupan yang diperparah oleh kapitalisme dan pasar global. Karena itu, zaman modern ditandai oleh melembaganya persaingan dan kecemburuan di dalam kehidupan berasama. Efek dari semangat kompetitif ini adalah penekanan pada kualitas. Jika kualitasnya terjamin dan terpercaya maka akan dipakai dan dianut orang.

Kedua, Mucullah subjektivisme narsistik (antroposentrisme) yang berarti manusia menjadi pusat segala sesuatu. Karena itu, sering disebut “egologi” (hanya membicarakan ego manusia saja) untuk mempertentangkannya dengan “ekologi” yang menjadi kesadaran postmodernisme saat ini. Dampaknya adalah pendewaan terhadap “high achievement” (prestasi tinggi). Orang yang berprestasi tinggilah yang diakui dan dihargai keberadaannya di dalam kehidupan bersama. Karena itu, sejak masa kanak-kanak, anak-anak di perkotaan sudah “dipaksa” oleh orang tuanya untuk ikut berbagai les privat mulai dari privat musik, bahasa, ilmu-ulmu eksata, dll. Sejak kecil anak-anak telah dituntut untuk berprestasi di sekolah dalam berbagai aspek. Nilai yang bagus dan menjadi “sang juara” akan diberi hadiah. Sementara anak yang biasa-biasa saja atau tidak menonjol, sedikit kurang diperhatikan. Akibatnya, ada tendensi untuk antimediokritik (kelumayanan atau pas-pasan).

Ketiga, muncul juga Humanisme yang meraba-raba atau belum stabil (paradoks dan ambivalen). Mengapa? Di satu pihak, ia melahirkan HAM (Hak Asasi Manusia) atau kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan bahkan sampai pada tingkat formal. Akan tetapi, di sisi lain, struktur-struktur kehidupan modern seringkali tidak memungkinkan penghargaan terhadap HAM. Contohnya: upah buruh menjadi semakin murah dan pemberlakuan sistem kontrak yang merugikan kaum buruh oleh industri-industri, munculnya kloning, kontrasepsi, manusia menjadi sampel di dunia medis, dll.

Keempat, mitos kemajuan yang illusoris yang dilandasi oleh sejarah menuju kemajuan. Namun, hal ini ambigu karena kemajuannya hanya bersifat fisik dan rasional saja sementara ekosistem menjadi rusak, muncul pengangguran di mana-mana, muncul kebudayaan global versus hilangnya tradisi (local genius) yang selama ini menjadi pegangan hidup bersama. Global seringkali identik dengan Westernisasi. Pendeknya, kemajuannya harus dipertanyakan lagi. Mengapa? Karena segala kehidupan roh, hati, dan agama menjadi kurang diperhatikan lagi di era pemikiran modern. Yang ada hanyalah yang material dan fisikal.

Kelima, munculnya femisnisme akhir-akhir ini sebagai bentuk perlawanan atas kemodernan yang erat terkait dengan kultur kepriaan yang katanya “rasional” (?) yang selalu dipertentangkan dengan karakter emosional dan intuitif yang lebih dominan pada wanita. Karena itu, wanita dikatakan tidak modern karena didominasi oleh perasaan dan bukan rasio. Hanya yang laki-lakilah yang pantas disebut modern karena memakai rasio (????). Akibatnya, nilai-nilai dan unsur-unsur kewanitaan (misalnya: hati) selalu dinomorduakan. Dalam praktiknya, wanita selalu dinomorduakan di berbagai lini kehidupan, karena kemodernan selalu “male chauvinism” (mengagung-agungkan laki-laki).

Keenam, muncullah kolonialisme dan westernisasi yang sangat ambigu. Agama-gama monoteistik seringkali bersifat kolonialistik dan imperialistik karena sifat misioner yang terkandung di dalamnya. Teknologi modern seringkali berpola sybernetics (semua perilaku mesin dikontrol oleh satu pusat atau sentralistik). Seluruh kemajuan modern seringkali bersifat pencanggihan sistem kontrol. Sistem ini semakin memungkinkan jaringan perhubungan yang sangat luas (internet) namun berakibat akses-akses sangat pribadi (privasi) dimungkinkan sehingga kontrol tidak berfungsi lagi (unitended consequens). Dengan kata lain, sebetulnya yang menjadi pusat tidak ada lagi, karena setiap orang menjadi pusat.

Balada Sejuta Rasa

Galeri

Pada dinding putih ini

Kugoreskan rasa yang tidak pernah berhenti

Pada dikau yang nyata sekaligus absurd

Pada dikau yang dekat serentak jauh

Pada dikau yang mengagumkan sekaligus menakutkan

Pada deru nafasku ini

Kau alirkan segalanya

Yang memenuhi rongga dadaku

Kau isi ruang-ruang dadaku dengan nafasmu

Kau penuhi semuanya dengan keberadaanmu yang abstrak

Pada lembar hidupku ini

Kau tulisi dengan tinta berjuta warna

Tentang kasih yang kau tawarkan

Tentang derita yang kau alami

Tentang arti sebuah cinta yang absent

Tentang makna sebuah perjalanan tanpa ujung

Pada dadaku yang ceking ini

Kau tumpahkan segala hal yang kau alami

Kau sandarkan kepalamu tanpa malu

Kau biarkan butir-butir air matamu membasahi kemeja kusutku

Tanpa malu kaurangkulkan tanganmu pada leherku

Sembari berujar: jangan pernah berhenti mencintaiku

Meski aku selalu berpaling darimu

Kini

Kau telah pergi jauh

Terbang tinggi melintasi samudera

Tuk gapai cita dan cinta yang menurutmu lebih nyata

Meninggalkan aku sendirian di sudut kota ini

Yang tetap mendoakan kebahagianmu

“Aku tak pernah tahu kalau nyaman dan sakit hati bisa berjalan beriringan dan akrab. Hingga titik mana?” selagai nafas belum meninggalkan raga kita…kedamaian dan sakit hati tidak akan pernah berhenti mewarnai hidup kita…sebab mereka seperti dua sisi dari mata uang yang sama…refleksimu sungguh sangat mendalam…kamu hidup bukan di level kedangkalan…aku doakan semoga kamu menemukan makna hidup yang terdalam dan yang sejati..meski kadang akal kita cenderung skeptis dengan apa yang disebut dengan “kesejatian.” makasih atas goresan rasamu dalam kata-kata…kamu mampu menuangkan apa yang kamu rasakan dan pikirkan dalam keterbatasan kata-kata…karena kata-kata selalu terbatas untuk melukiskan semua yang kita rasakan dan alami secara persis sama…itulah keterbatasan bahasa manusiawi kita…tetapi kamu mampu membuktikan bahwa kata-kata ternyata tidaklah terbatas untuk mengugkapkan segalanya termasuk rasa yang paling sublim.

Pesona Sang Kebijaksanaan

Standar


Adalah sinar yang mencumbu

tiada layu oleh remang

timbul di jenang mata kasih

bertemukan rasa yang mendamba

Sophia………..

Adalah musafir dalam hasrat

kau rengkuh hulu dari muara

kau langkahi timur dan barat

berkelana di batas ruang dan waktu

lalu tertambat di jantung kota hati

Adalah teduh di hari terik

adalah suluh di langkah pekat

yang halus tetapi perkasa

yang jelita tetapi sahaja

yang genit tetapi suci

terjerat di ambang harap

Dapatkah Kita Saling Menyapa?

Galeri


Sedang kau maha tahu, aku bergelimang di ranjang dosa?

Mimpi-mimpi menyayat hati

Kata-kata racau, patah lenyap sebelum fajar?

Dapatkah kita saling memandang

Dalam bayang temaram senja?

Kau di puncak gunung keabadian

Aku dihimpit lembah, meraung dalam sesal duka?

Dapatkah kita saling bertanya

“Kau di mana, aku di mana?”

Dalam riak awan, dalam kepak senyap?

Sementara engkau adalah maha tempat dan maha waktu?

Dapatkah kita saling tertawa

Sedang aku telanjang di bumi gersang?

Kau tersenyum sambil berkata:

“Siapa yang bilang kamu tidak berpakaian?”

Dapatkah kita menangis bersama

Sementara aku sudah lupa bagaimana harus menyesali kemalanganku?

Hati dingin seperti tuguh,

Garang seperti kambing?

Dapatkah kita menangis bersama, sedang engkau maha rasa?

Daptkah kita saling membiarkan senja

memeluk bumi, mewarnai pepohonan

sambil membicarakan tentang usia yang semakin senja,

Sedang kau tak pernah tidur

Kau tak mengenal gelisah malam

Kau tak mengenal rasa enggan yang terbit di setiap subuh?

Dapatkah kita saling memberi kabar

Kau susupkan jemarimu ke lambungku

Dan segala relung hatiku menganga bagimu?

Kalau kau mendatangiku

Berita apa yang dapat kuberikan bagimu?

…………………………………………………………………………….

Dapatkah kita…..

Dapatkah kita bersama, Tuhan?

…………………………………………………………………………….

Kita adalah sahabat karib, sobat!!

Dalam terik dan dalam teduh

Dalam keruh dan dalam jernih……

Dalam tawa dan dalam tangis

Dalam hening dan dalam bising

Dalam gurau kecil kita saling tertawa

Kehangatan, sukacita dan harapan selalu membuncah dari dada kita

Tapi sejak kabut dan dingin mulai menjalari hatimu

Tawa itu lenyap dari bibirmu, sesal dan tangis itu menguap seperti mimpi

Engkau tak tahu kalau aku selalu ada di sampingmu

Menggendongmu saat kau kalah dan terjatuh?

Kuulurkan tangan kakimu menendang

Kukirimkan salam

Hatimu mendendam

Aku begitu dekat…..begitu lekat

Meski kau begitu lusuh dan jalang

Aku memanggil……kau menjauh

Tapi selalu kukejar

Aku memeluk…..kau melukai

Tapi, aku tak jerah….

Aku menanti….kau tak datang

Tapi aku tidak jemu….

Dapatah kita saling menyapa?

Dapatkah kita memandang?

Dapatkah kita saling bertanya?

Dapatkah kita saling tertawa?

Dapatkah kita menagis bersama?

Dapatkah kita saling memberikabar?

Dapatkah kita menikmati senja ini bersama?

Dapatkah kita….

……………………………………………………………………………………………..

Kita adalah sahabat karib,sobat

Dapatkah seberkas cahaya memisahkan kita?

Senyuman Proletariat

Standar

Kala ia datang dalam tanya…

Menyapa sejuta insan

Menebarkan selaksa asa

Pada gerahnya sang mentari

Dan bau tengik udara kota

Senyummu menyimpan dusta ……

Membenam derita dan menahan lapar

Pada becakmu engkau berceloteh:

Hidup ini memang kejam…..

Untaian langkah merangkak passti

Berpacu bersama deru zaman….

Lalu ia tanya mentari:….

“Akankah esok engkau bersinar terus, seperti hari-hari kemarin….”

Kermbali ia tersenyum…

Menampilkan deretan gigi kuningnya

Keriput wajahnya ingin berkata:

Aku masih kuat…….

************

Hai kamu yang datang, duduk, dengar dan diam…..

Kutitipkan asa ini padamu….

Senyumku adalah sebuah kegetiran

Juga kemanisan yang berbaur

Dalam kancah perjuangan yang tiada akhir..

Pada pundakmu ada harapan

Ada aral yang mesti kau lalui

Ada tanya yang mesti kau jawab

Ada tawa yang mesti kau tangisi..

Terus…terus…dan teruslah mengejar mentarimu……

Ajari Aku Terbang

Standar

Hadirmu membawa arti

Ditengah runtuhan puing-puing motivasi

Yang tercecer tak tahu kemana

Dalam pertengkaran surgaMu dan duniaku

Terbawa aku dalam sepi

Terhuyung daku dalam kesunyian

Pada lika-liku tujuan hidup

Yang terkapar menanti lakuku

Tlah kucari ke sudut-sudut hatiku

Onggokan kebahagiaan yang terlempar

Karena hempasam badai aral

Yang menantangku tak henti

Kutatap jumbaiku yang terjuntai

Pada putihnya surya dan kelamnya malam

Mengorek sejuta rasa

Pada jalanMu yang tak berujung

Padamu aku berkisah

Tentang sebuah harapan

Di relung-relung jalan ini

Dimana jejakMu tlah ditutupi air hujan

Jumbai itu terjulur anggun

Bersama derap kesombongan dan keegoisanku

Menyatu dalam laku dan harapan

Menyembulkan smerbak bau tengik

Aku berkisah tentang sucinya jumbai

Akan sebuah angan yang masih dikejar

Akan sederet bintang yang menjulang

Namun tengikku tetaplah tengikku

Bau…………

Tuhanku ……

Dibawah dulimu aku tersungkur

Menyadari semua kepongahanku

Satu pintaku padamu:

Ajari aku terbang menujuMu

Rintihan Peziarah

Standar

Bantu aku tuk mengertimu

Akan hadirmu untukku

Akan detakmu yang tak terhenti

Menjadi titik-titik hitam

Tanda sang musafir pernah berjalan

Bantu aku……

Untuk tidak membencimu

Untuk tidak mencaci gerakmu

Yang memecah kesenyapan malamku

Tanpa ku tahu kau ngambek dan marah

Atas kemalasanku menitimu

Bantu aku mencintaimu

Karena aku bukan penjahat

Bukan pula perampok

Apalagi penjarah

Aku hanya peziarah

Semua pasti dalam engkau

Semua menyangkut engkau

Dan berakhir oleh engkau

Tolong jangan jadi malaikat mautku